Apa itu Ground Control Points dan Bagaimana Menggunakannya

Apa itu Ground Control Points dan Bagaimana Menggunakannya?

Jika Anda bekerja dengan perangkat lunak pemetaan foto udara, Anda pasti mendengar tentang titik kontrol tanah (Ground Control Point atau GCP). Istilah ini sering digunakan dalam industri survey, desain virtual dan konstruksi, GCP dapat meningkatkan akurasi dari peta yang dihasilkan dari foto udara. Meskipun tidak diperlukan dalam setiap situasi, GCP adalah alat vital untuk pemetaan yang presisi. Tapi apa sebenarnya titik kontrol tanah? bagaimana menggunakannya dengan benar?

Apa itu Ground Control Point?

Ilustrasi Ground Control Point dalam proyek survey

Titik kontrol tanah (GCP) adalah target besar yang ditandai di tanah, ditempatkan secara strategis di seluruh area survey dengan teknis dan preferensi tertentu. Anda harus terlebih dulu menentukan koordinat GPS RTK di pusat masing-masing. GCP dan koordinatnya kemudian digunakan untuk membantu perangkat lunak pemetaan drone untuk secara akurat memposisikan peta dengan kondisi nyata di sekitarnya.

Analoginya seperti menempatkan paku payung atau push pin dalam sebuah majalah dinding. Masing-masing pin dapat membantu merekatkan scrap (potongan rubrik mading) dengan bantalan mading agar bisa dipajang di dinding. GCP berfungsi demikian untuk bisa merujuk lokasi referensi peta di masing-masing titiknya.

Kapan dan Mengapa GCP Penting?

Ketika digunakan dengan benar, GCP dapat meningkatkan akurasi peta. Artinya, GCP membantu memastikan bahwa garis lintang dan bujur titik di peta secara akurat sesuai dengan koordinat GPS yang sebenarnya. Ini penting dalam situasi dimana pemetaan presisi dan akurasi diperlukan. Perusahaan survey umumnya menggunakan GCP, karena tingkat akurasi yang tinggi penting dalam sebagian besar pekerjaan yang dilakukan. Virtual Design dan konstruksi adalah sektor lain yang sering membutuhkan tingkat pemetaan yang presisi ini.

Setiap proyek pemetaan drone adalah unik, dan tidak semua proyek memerlukan tingkat akurasi peta yang tinggi. Karena itu, penting untuk menilai setiap proyek sebelum Anda memutuskan untuk mengambil langkah menggunakan GCP. Namun secara umum, proyek seperti overlay geo-referensi, dokumen desain dan survey tanah bisa memanfaatkan penggunaan GCP.

baca juga : Lakukan Survey dan Pemetaan Lebih Cepat dengan UAV

Cara Membangun Titik Kontrol di Tanah

Satu hal penting untuk diingat bahwa GCP harus mudah terlihat dalam foto udara Anda. Hal ini dilakukan dengan cara menggunakan warna kontras tinggi, dengan memastikan titik kontrol tanah cukup besar untuk dilihat dari ketinggian penerbangan tertentu. Kami merekomendasikan terbang dengan ketinggian 300 kaki dengan frontlap ​​dan sidelap 70/75 peta (tingkat tumpang tindih peta) saat menggunakan GCP. Perlu diingat bahwa hal ini dapat berubah tergantung pada area pemetaan. Kebanyakan penanda harus memenuhi dua kriteria sederhana:

  • Desain dengan tingkat kontras yang tinggi agar mudah dibedakan dengan medan di sekitarnya
  • Bentuk geometri standar yang menunjukkan pusat penanda yang diukur
Bentuk-bentuk umum sebuah GCP

Mengukur Lokasi GCP

Seperti yang telah disebutkan di atas, penting untuk mengukur koordinat GPS di pusat setiap titik kontrol tanah. Untuk melakukan ini, Anda memerlukan receiver Real Time Kinematic (RTK) atau Pasca Pengolahan Kinematik (PPK).  Jangan gunakan ponsel atau tablet untuk mengukur lokasi titik kontrol tanah Anda. Keakuratan perangkat ini sangat mirip dengan sistem GPS onboard drone dan tidak akan memberikan hasil yang akurat. Sebaliknya, gunakan salah satu metode sebelumnya yang tercantum di atas, seperti penerima GPS RTK atau PPK.

Tips menempatkan GCP

Contoh sebaran GCP dalam area survey

Sebarkan GCP merata di tanah. Marker harus ditempatkan disekitar sudut luar area dan sisanya didistribusikan di seluruh pusat area. Secara umum, survey lapangan harus dapat memuat minimal 5 GCP dengan kisaran luas 10 sampai 120 hektar per area survey. Pastikan GCP diberi jarak yang cukup berjauhan, untuk menghindari kebingungan.

Buat zona penyangga di sekeliling batas peta. Disarankan zona penyangga berada diantara tepi peta dan titik GCP. Ini memastikan ada cukup cakupan gambar untuk melakukan pemrosesan ulang. Ukuran zona penyangga harus berada di antara 50-100 kaki, tergantung pada tingkat overlap penerbangan. Overlap yang lebih tinggi menghasilkan lebih banyak gambar dan umumnya membutuhkan lebih sedikit buffer zone.

Waspadai perubahan ketinggian. Jika area yang dipetakan memiliki perubahan elevasi yang nyata seperti bukit, ranjau dan lembah, pastikan untuk menempatkan setidaknya satu titik kontrol tanah pada setiap elevasi utama yang berbeda.

Pastikan GCP tidak terhalang. Obstruksi visual seperti overhang, salju, bayangan atau silau membuat titik kontrol tanah sulit diidentifikasi pada peta. Jangan sampai GCP terhalang objek di tanah dan hindari tutupan seperti tanaman, pohon dan lainnya.


Sumber :

https://blog.dronedeploy.com/what-are-ground-control-points-gcps-and-how-do-i-use-them-4f4c3771fd0b

https://medium.com/@propeller_aero/things-to-know-about-ground-control-in-drone-surveying-6b63ba6ccf0c

Penggunaan UAV untuk Profesi Survey Lapangan

Lakukan Survey dan Pemetaan Lebih Cepat dengan UAV

Survey topografi adalah bagian penting dari semua proyek pengembangan lahan. biasanya, survey topografi dilakukan secara terestris atau menggunakan alat darat untuk pengamatan tinggi muka tanah. survey ini memang cukup akurat, namun memerlukan waktu yang lama untuk menyisir daerah survey. Sebelum sebuah wilayah dapat dibangun, survey topografi yang akurat diperlukan karena beberapa alasan:

  • Untuk memastikan pengembangan lahan awal (perubahan fisik tanah) berhasil sehingga memungkinkan aliran air yang tepat untuk drainase.
  • Untuk mendokumentasikan topografi dalam kaitannya dengan kondisi bencana untuk pencegahan kerusakan dan asuransi.
  • Untuk melihat konektivitas lokasi dengan wilayah sekitarnya. Apakah alat transportasi dapat masuk dan menciptakan alur distribusi yang optimal.
  • Untuk mengukur nilai tanah yang disesuaikan dengan nilai pajak tanah, kaitannya dengan kepemilikan dan harga suatu bangunan.

Untuk itu, diperlukan cara-cara agar pelaksanaan survey proyek dapat terlaksana dengan cepat dan efektif. Agar mengurangi biaya operasional yang besar dalam pelaksanaan proyek. Survei topografi tradisional membutuhkan pengumpulan poin GPS (atau “shots”) dalam grid yang ditentukan sebelumnya.

baca juga : Prinsip Cara Kerja Sebuah UAV

Misalnya saja untuk area seluas 85 hektar. Dengan kondisi grid 50×50, Pemotretan GPS dikumpulkan setiap 50 kaki di setiap cross grid. Artinya sebanyak 1.632 shots GPS dikumpulkan di area survey seluas 85 hektar. Tanpa UAV, survey lapangan dapat mengumpulkan ± 20 poin / jam (1 poin setiap 3 menit atau lebih), survey shots GPS akan memakan waktu sekitar 82 jam. 82 jam survey lapangan berarti bahwa pengembang proyek akan menunggu setidaknya 1 minggu kerja lapangan sebelum pemprosesan dan peninjauan data. Setelah itu, dibutuhkan 3-4 hari lagi sebelum hasil akhir dapat dikirimkan.

poin GPS shots dalam survey lapangan tradisional

Survey topografi yang sama seluas 85 hektar dengan menggunakan teknologi UAV, dapat dilakukan jauh lebih cepat dan efisien. Pertama, tidak perlu mengumpulkan 1,600+ titik GPS di seluruh areal. Sebagai gantinya, UAV hanya memerlukan pengumpulan data GPS survey pada 10 target kontrol tanah (atau GCP), yang ditempatkan secara strategis dalam area survey. GCP ini hitungannya dapat disesuaikan dengan kondisi lapangan. Jadi jelas perbandingannya. 10 target GCP vs. 1.632 poin survey. 10 target GCP ini akan menjadi satu-satunya poin yang dikumpulkan dan dapat diselesaikan dalam waktu tidak lebih dari 1-2 jam.

titik GCP dalam survey menggunakan UAV

Menggunakan Dadali UAV tipe fixed wings, seluruh area survey seluas 85 hektar dapat selesai dalam penerbangan tunggal sekitar 22 menit. Total operasi drone termasuk perakitan, pemeriksaan pra-penerbangan, peluncuran, pendaratan, pembongkaran, dan penyusunan orthophoto awal, dapat diselesaikan dilapangan dalam 1 jam.

UAV Data Collection (1 jam) + GPS Survey Collection (5.8 jam) =

Total waktu untuk kerja lapangan: 6,8 jam

Contoh rute terbang UAV untuk survey

Perbandingan:

UAV survey = 6,8 jam

Survey lapangan = 81,6 jam

Total penghematan 74,8 jam

(waktu yang cukup untuk menyaksikan seluruh trilogi Lord of the Rings… 8 kali berturut-turut)

Mau nonton Lord of The Rings di sela-sela proyek?

Dengan menggunakan teknologi UAV survey mapping, pengembang wilayah dapat melakukan survey topografi kira-kira 75 jam lebih cepat dari survey lapangan tradisional. 75 jam dapat menghemat biaya yang besar dalam puluhan dan ratusan juta.


Sumber :

https://blog.dronedeploy.com/case-study-830cfc23db55

Memilih Drone Pemetaan untuk Perusahaan Anda

Memilih Drone untuk Pemetaan

Banyak perusahaan yang ingin melakukan pembelian drone untuk keperluan survey dan pemetaan. Drone memungkinkan perusahaan menangkap foto udara untuk menghasilkan peta akurat dan model 3D di sekitarnya. Dengan menganalisis peta, perusahaan dapat membuat keputusan yang lebih cepat dan tepat yang meningkatkan efisiensi, meningkatkan keselamatan, dan efektifitas operasional. Dengan manfaat seperti ini, tidak mengherankan jika penggunaan drone meningkat di berbagai industri termasuk konstruksi, pertanian, survei, penambangan, dan banyak lagi.

Lalu pertanyaannya kemudian, drone seperti apa yang harus dibeli? Berikut ini beberapa pertimbangan yang dapat membantu sebelum melakukan pembelian. Masing-masing memiliki kelebihan dan kekurangan sesuai penggunaan tertentu, jadi penting untuk memahami perbedaan utama antara kedua jenis.

Perbandingan Drone Fixed Wings dan Multi-Rotor

Drone Multi-Rotor

Drone tipe Multi-Rotor

Pesawat multi-rotor adalah model drone yang paling umum digunakan untuk membuat peta dan model. Drone multi-rotor terdiri dari body utama dan beberapa rotor yang menggerakkan baling-baling untuk melakukan penerbangan dan manuver pesawat. Setelah di udara, drone multi-rotor menggunakan baling-baling untuk mengendalikan gerakan dengan memvariasikan kecepatan relatif masing-masing rotor untuk menghasilkan daya dorong. Ini menyajikan beberapa keuntungan ketika digunakan untuk pemetaan komersial.

Keuntungan

Kemampuan manuver yang lebih besar: pesawat multi-rotor dapat melakukan lepas landas dan pendaratan vertikal. Drone ini hanya membutuhkan sedikit ruang untuk terbang, dapat terbang dengan posisi hold, dan bermanuver juga berkeliling objek untuk pemeriksaan, pemetaan, dan pemodelan yang mudah.

Harga yang lebih rendah: drone multi-rotor dapat dibeli dengan harga yang lebih murah. Anda dapat membeli quadcopter profesional seharga 20 juta, sedangkan fixed wings drone dengan kualitas yang sama bisa berkali-kali lipat harganya.

Lebih kompak: drone multi-rotor tidak memerlukan sayap yang lebar, karena mereka menggunakan baling-baling untuk melakukan manuver. Drone ini dirancang untuk dilipat dan dikemas ke dalam kontainer yang lebih kecil. Membuatnya lebih mudah untuk diangkut.

Kemudahan penggunaan: drone multi-rotor lebih mudah diterbangkan oleh manusia dan autopilot. Cepat melakukan manuver, dan mampu membuat gerakan ke arah mana pun. Drone jenis ini bisa dipelajari lebih cepat. Selain itu, pada saat pendaratan, pilot lebih mudah mengendalikan drone karena ia dapat menstabilkan kondisi saat pendaratan dengan baling-balingnya.

Kapasitas muatan lebih banyak: drone multi-rotor umumnya bisa membawa lebih banyak beban karena desain mereka. Namun, ini akan membutuhkan drone yang lebih besar dan lebih mahal jika Anda ingin membawa muatan yang signifikan seperti DSLR besar atau rig kamera lainnya. Tak lupa, daya angkat rotor mesti ditingkatkan jika ingin mengangkat lebih banyak beban.

Kekurangan

Jangkauan lebih pendek: Satu batasan dari drone multi-rotor adalah jarak terbang pada kapasitas satu baterai. Kebanyakan drone multi-rotor dapat terbang hanya sekitar 30 menit sebelum kembali ke pangkalan untuk penggantian baterai. Anda dapat mengimbangi penurunan ini dengan membeli baterai tambahan.

Kurang stabil di angin: Aerodinamika pesawat multi-rotor membuatnya lebih rentan terhadap angin. Ini berarti anda harus berhati-hati dalam penggunaan di wilayah dengan angin kencang. Anda mungkin harus membeli kendaraan multi-rotor yang lebih berat, lebih stabil, dan lebih mahal.

baca juga : Prinsip Cara Kerja Sebuah UAV

Drone Fixed Wings

Drone tipe Fixed Wings

Drone fixed wings dirancang seperti jenis pesawat yang lebih konvensional, terlihat mirip dengan pesawat terbang pada umumnya. Memiliki body utama dan dua sayap dengan satu baling-baling. Setelah di udara, kedua sayap menghasilkan daya angkat yang mengkompensasi beratnya – memungkinkan pesawat untuk stabil dalam penerbangan. Jenis pesawat ini kurang umum dalam pemetaan drone diluar pertanian dan aplikasi minyak & gas.

Keuntungan

Rentang sayap yang signifikan: Pesawat fixed wings dapatterbang lebih lama daripada drone multi-rotor pada satu baterai tunggal. Ini idealuntuk memetakan area yang sangat besar atau linier karena drone ini dapatterbang tanpa harus sering mengganti baterai selama misi penerbangan.

Stabilitas yang lebih besar: Desain airframe sayap pesawat memberi stabilitas yang lebih besar dalam angin kencang dibandingkan drone multi-rotor. Ini penting untuk terbang di lingkungan yang terdapat angin kencang.

Aman saat fail safe: Jika drone ini kehilangan daya motor, secara teori ia dapat meluncur turun menggunakan daya aerodinamika sayapnya. Memberi kesempatan yang lebih baik untuk bertahan ketika jatuh.

Keuntungan penerbangan linear: drone fixed wings ideal untuk penerbangan jarak jauh, seperti inspeksi pipa. Namun, kemampuan ini saat ini terbatas pada persyaratan peraturan line-of-sight (LOS) di AS dan negara-negara lain dimana peraturan LOS telah diberlakukan.

Kekurangan

Memerlukan landasan untuk terbang: Pesawat fixed wings membutuhkan area lepas landas yang lebih besar dan zona pendaratan untuk penerbangan. Hal ini dapat membuatnya tidak cocok untuk beberapa kasus penggunaan. Ini juga memerlukan lebih banyak waktu untuk pengaturan, lepas landas, dan pendaratan.

Harga yang lebih tinggi: pesawat fixed wings cenderung lebih mahal daripada drone multi-rotor. Meskipun harga dapat berubah di masa depan, itu dapat memengaruhi budget perusahaan secara keseluruhan.

Menantang untuk terbang: Pesawat sayap tetap lebih sulit untuk terbang, baik untuk manusia dan kondisi autopilot, terutama dalam kondisi lapangan yang sukar. Beberapa pesawat dapat terbang dengan tolakan tangan, namun beberapa pesawat lainnya memerlukan slider untuk take off.

Kurang praktis: jangkauan jelajah yang tinggi dari drone fixed wings didapatkan dari bentuk aerodinamika pesawat, ini berarti drone lebih sulit untuk berkemas, dan membutuhkan perakitan sebelum penerbangan.

Kurang efisien untuk pemetaan area: Pesawat fixed wings kurang cocok untuk pemetaan area. Ini karena banyak corner diperlukan untuk menghasilkan pola grid dan mendapatkan overlay foto yang mencukupi dari area target. Drone fixed wings membutuhkan area yang lebih besar untuk berputar, dan tidak memiliki kemampuan manuver seperti drone multi-rotor.

Untuk mempermudah, kami menyiapkan tabel ringkasan ini sehingga Anda dapat membandingkan kedua jenis drone secara berdampingan.

Perbandingan antara Drone Fixed Wings dengan Multi-Rotor

Kesimpulan

Pada akhirnya, Anda harus memutuskan drone mana yang terbaik untuk kebutuhan perusahaan. Kami telah memberi Anda informasi dan alat untuk membuat keputusan berdasarkan informasi saat Anda memilih drone berikutnya untuk pemetaan.


Sumber:

https://blog.dronedeploy.com/choosing-the-right-mapping-drone-for-your-business-part-i-multi-rotor-vs-fixed-wing-aircraft-6ec2d02eff48

Jenis-jenis pesawat tanpa awak

Jenis-jenis Pesawat Tanpa Awak

UAV adalah salah satu jenis robot penjelajah udara tanpa awak. Karena tidak memiliki awak, UAV harus dikendalikan dari jarak jauh menggunakan remote control dari luar kendaraan atau biasa disebut Remotely Piloted Vehicle (RPV). Selain itu, UAV juga dapat bergerak secara otomatis berdasarkan program yang sudah ditanamkan pada sistem komputernya.

Pada saat ini UAV telah berkembang dengan sangat pesat dan digunakan dalam berbagai kebutuhan. Berikut ini merupakan beberapa contoh fungsi dari UAV:

  • Melakukan penginderaan jarak jauh, seperti memantau jaringan listrik, melakukan pemetaan suatu daerah, melihat keadaan geologi suatu daerah, dan memantau lahan pertanian.
  • Melakukan respons terhadap bencana yang terjadi, seperti melakukan pemantauan kerusakan akibat bencana banjir dan melakukan pemantauan kebakaran hutan.
  • Melakukan pengawasan hukum, seperti patroli keamanan suatu lokasi, pemantauan keadaan lalu lintas, patroli keadaan pesisir, kelautan, dan perbatasan.
  • Melakukan pencarian dan penyelamatan pada daerah yang sulit dijangkau.
  • Melakukan perjalanan transportasi, seperti membawa kargo kecil, kargo besar hingga mengangkut penumpang.
  • Menjadi alat penghubung komunikasi permanen ataupun sementara dan juga untuk menyalurkan siaran seperti siaran televisi danradio.
  • Membawa dan mengirimkan suatu muatan, seperti membawa air untuk memadamkan kebakaran atau membawakan zat kimia untuk merawat tanaman.
  • Melakukan pengambilan gambar untuk keperluan perfilman dan juga hiburan.

Agar dapat mengenal serta membedakan UAV yang ada saat ini, kita dapat melakukan pengelompokan ataupun klasifikasi terhadapnya. Sebenarnya terdapat banyak jenis pengelompokan UAV yang bisa digunakan, seperti pengelompokan berdasarkan kegunaan, berdasarkan motor penggerak, dan pengelompokan berdasarkan hal lainnya. Namun, yang paling sering digunakan dalam kajian ilmiah adalah pengelompokan berdasarkan bobot dari suatu UAV.

baca juga : Memilih Drone untuk Pemetaan

Jenis UAV Berdasarkan Berat

Parameter bobot dipilih sebagai parameter pengelompokkan karena terdapat banyak karakteristik performa suatu UAV yang berhubungan langsung dengan bobot dari UAV tersebut. Contohnya, besar gaya angkat dan gaya dorong yang dibutuhkan suatu UAV bergantung pada bobot UAV tersebut. Selain itu, bobot juga mempengaruhi lebar baling-baling yang digunakan, serta sumber energi yang dapat dipakai. Contohnya, UAV yang ringan biasanya akan menggunakan motor elektrik sebagai penggerak utamanya dan UAV dengan bobot sangat berat biasanya menggunakan turbo jet ataupun turbo fan.

UAV Super Heavy

Global Hawk

UAV super heavy adalah jenis robot penjelajah udara UAV yang memiliki berat diatas 2000Kg. Sebagai contoh UAV super heavy adalah Global Hawk.

UAV Heavy

A-160

UAV Heavy adalah jenis robot penjelajah udara dengan berat antara 200 – 2000 Kg. Salah satu contoh UAV heavy adalah A-160.

UAV Medium

Chyper

UAV medium adalah robot penjelajah udara yang memiliki berat pada range 50-200Kg. Contoh UAV jenis medium adalah UAV Chyper.

UAV Light

Neptune

UAV light merupakan robot penjelajah udara dengan bobot5-50Kg. Contoh UAV jenis medium adalah UAV Neptune.

UAV Micro

Dragon Eye

UAV micro adalah robot penjelajah udara yang ringan dan memiliki bobot kurang dari 5kg. Contoh UAV micro adalah UAV Dragon Eye.

Jenis UAV Berdasarkan Penggeraknya

Drone digerakkan oleh motor untuk bisa terbang dan manuver. Berdasarkan jenis penggeraknya, drone bisa dibagi menjadi dua jenis, yaitu Fixed Wing dan Rotary Wings Drone.

Fixed Wing

Drone tipe Fixed Wings

Drone jenis Fixed Wing ini menggunakan sayap untuk terbang, drone jenis Fixed Wing ini sendiri memiliki beberapa bentuk dan ukuran, bergantung pada kegunaannya masing masing. Drone jenis Fixed Wing ini bisa ditenagai Baterai dan bisa juga menggunakan Bahan Bakar.

Multirotor


Drone tipe Multirotor

Multirotor Drone adalah drone yang menggunakan baling-baling (Propellers) untuk terbang, drone jenis ini biasa dikenal dengan nama Multicopter atau Multirotor.

Untuk penamaannya disesuaikan dengan banyaknya motor atau baling-baling. Drone jenis ini biasanya ditenagai baterai, dan merupakan jenis drone terbanyak yang dijual di pasaran, harganya sendiri bervariasi, mulai dari ratusan ribu, sampai pada ratusan juta. Motor penggeraknya mulai dari single copter, doublecopter, tricopter, quadcopter dan lainnya.


Sumber:

http://zonaelektro.net/unmanned-aerial-vehicle-uav/

https://www.liupurnomo.com/mengenal-jenis-jenis-drone/

Prinsip Cara Kerja Sebuah UAV

Prinsip Cara Kerja Sebuah UAV

Saat ini, perkembangan teknologi di bidang Unmanned Aerial Vehicle (UAV) semakin pesat. Sudah banyak sekali aplikasi pemanfaatan drone untuk membantu pekerjaan kita dalam berbagai hal, seperti saintis yang mengumpulkan data penelitian, engineer yang membuat teknologi terintegrasi seperti survey udara, pelacakan sebuah objek, dan lain lain. Tentunya, bagi seseorang yang ingin mengetahui maupun mengoperasikan sebuah UAV harus mengetahui dasar-dasar dari komponen minimum yang terdapat pada UAV.

Sebuah UAV berjenis Fixed Wings

Robotika –dalam hal ini UAV-, pasti selalu berkutat dengan komponen berupa sensor dan juga aktuator. Karena suatu UAV harus mengetahui lingkungan spasial yang mempengaruhi dirinya, dan untuk menafsirkannya menjadi pergerakan, maka dibutuhkan aktuator. UAV sederhana harus dapat melakukan autonomous seperti terbang, mengambang di udara, atau navigasi tanpa input dari pilot. Kemampuan untuk stabilisasi diri, dan mempertahankan posisi juga harus dapat dimiliki oleh suatu UAV. Lalu, dalam UAV, sensor dan aktuator apakah yang digunakan?

Diagram kendali penerbangan UAV sederhana

Sensor utama yang berfungsi sebagai kendali pada suatu UAV adalah sensor IMU (Inertial Measurement Unit), yang terdiri dari accelerometer, gyroscopes, dan juga dapat memiliki kompas (magnetometer). Sensor ini akan memberi informasi kepada UAV tentang keadaan dari UAV terhadap lingkungan eksternal seperti percepatan pada tiap sumbu termasuk percepatan akibat gravitasi, lalu informasi tentang orientasi dan kecepatan angular dari wahana, dna jika terdapat kompas maka dapat mengetahui posisi mata angin dari bumi.

Ilustrasi Inertial Measurement Unit

Selanjutnya terdapat sensor posisi menggunakan GPS. Sensor ini digunakan sebagai perangkat navigasi yang dapat menerima informasi dari satelit GPS dan mengetahui posisi geografis dari perangkat tersebut.

Ilustrasi kerja GPS pada UAV

Berikutnya, terdapat beberapa aktuator yang digunakan pada UAV tergantung pada tipe UAV yang dibuat.

Pada UAV tipe Vertical Take-Off Landing (VTOL), aktuator yang digunakan adalah electronic speed controller digital -berfungsi untuk mengontrol rotasi per menit dari suatu motor-, yang dihubungkan kepada motor dengan tipe yang umum saat ini adalah Brushless DC Motor.

Sistem Brushless DC Motor

Pada Brushless DC Motor, berbeda dengan motor DC biasa, magnet permanen diletakkan pada bagian rotor dan elektromagnetik digerakkan kepada stator. Lalu menggunakan sinyal digital yang di program oleh kontroler untuk mengisi elektromagnetik saat porosnya berputar.

baca juga : Memilih Drone untuk Pemetaan

Kemudian pada tipe Fixed Wing, selain menggunakan Brushless DC Motor, digunakan juga servo yang digunakan untuk menggerakkan aileron, rudder, dan elevator pada sayapnya.

Sistem Servo

Servo ini bergerak dengan memiliki batas sudut pergerakkan, biasanya 180 derajat. Servo ini menerima sinyal digital yang akan di decode menjadi posisi dari servo tersebut. Kendali dari servo akan menentukan kecepatan dan posisi dari servo tersebut yang nantinya akan berpengaruh pada pergerakan mekanik dari UAV tersebut.

Demikian prinsip kerja UAV secara umum. Tentunya artikel ini dibuat untuk membuka wawasan terhadap seseorang yang ingin memulai memahami cara kerja dari suatu sistem UAV.


Sumber:

https://medium.com/@faizal.adila/prinsip-cara-kerja-uav-ed0ba9e3df74

Perbedaan antara Drone dan UAV

Perbedaan UAV dan Drone

Pesawat tanpa awak atau kita kenal dengan drone, menjadi populer di kalangan masyarakat berkat banyaknya foto maupun video footage dari para hobbies fotografi dalam menangkap momen yang sinematik. Padahal drone pada awalnya hanyalah objek terbang sederhana sebagai sasaran target dalam dunia militer. Dalam istilah militer, pesawat tanpa awak lebih dikenal sebagai UAV atau Unmanned Aerial Vehicle. Pesawat ini dikendalikan dari suatu pangkalan untuk melaksanakan misi tertentu dengan bermodalkan teknologi canggih yang terpasang di dalam pesawat. Lalu apa perbedaan antara drone dengan UAV? Mari kita simak.

Drone berasal dari asal kata ‘drone’ yang artinya adalah lebah jantan. Awalnya istilah drone hanya digunakan untuk menyebut sebuah target simulasi yang bergerak diudara (air moving targets) untuk latihan menembak, baik dari darat ke udara (ground to air) maupun dari udara ke udara (air to air). Pada perkembangannya, drone dipakai juga untuk menyebut sebuah UAS (unmanned aircraft system), pesawat tanpa awak. Bahkan Kementerian Pertahanan Amerika Serikat bersama dengan FAA (Federal Aviation Administration) menyusun sebuah road map tentang pesawat tanpa awak di tahun 2005 – 2030.

Istilah ini juga digunakan oleh ICAO (International Civil Aviation Organization) dan BCAA (British Civil Aviation Authority). Selanjutnya muncul pula beberapa terminologi dengan pengertian yang sama yaitu antara lain adalah UAV (Unmanned-aircraft Vehicle System) dan RPV (Remotely Piloted Aerial Vehicle) serta RPAS (Remotely Piloted Aircraft System). Dengan demikian maka drone yang belakangan ini banyak disebut-sebut sebenarnya mewakili pengertianuntuk UAS, UAV dan juga RPV. Pengertian dasarnya adalah istilah yang digunakan untuk menyebut sebuah kendaraan udara yang berbentuk aerodinamis dengan dukungan tenaga tertentu dan mampu terbang sendiri tanpa awak dengan pengendalian jarak jauh.

Sejarah Pengembangan UAV dalam Dunia Militer

Awal penggunaan

Pesawat tanpa awak (UAV) dapat digunakan berulang kali dan mampu membawa berbagai muatan, antara lain kamera, radio, senjata dan alat pengintai. Sebenarnya, pesawat tanpa awak yang disebut sebagai drone belakangan ini dapat dikatakan sama dengan pengertian yang sudah ada sebelumnya yaitu pesawat model yang menggunakan remote control. Jadi sebelum adanya istilah UAV dan drone, digunakan istilah ‘pesawat model remote control’ untuk menyebut pesawat tanpa awak. Namun batas antara ‘pesawat model’ dengan drone menjadi tidak jelas. Karena sekali lagi, drone dianggap sebagai objek terbang, bukan sebagai pesawat.

Dengan perkembangan teknologi, drone banyak digunakan bukan lagi sebatas hobi. Penggunaan dan polularitasnya semakin luas di masyarakat. Disinilah kemudian, beberapa negara dan organisasi membuat semacam penggolongan untuk membedakan pesawat model tanpa awak (UAV) dengan drone. Salah satu acuannya adalah ukuran dan beratnya. Akan tetapi, otoritas penerbangan Amerika Serikat yang sangat berpengaruh dalam dunia penerbangan global mendefinisikan setiap pesawat terbang tanpa awak dapat disebut sebagai UAV. Itulah yang menyebabkan perbedaan pesawat model radio control (UAV) dengan drone menjadi tidak jelas.

baca juga : Jenis-Jenis Pesawat Tanpa Awak

USAF (Angkatan Udara Amerika Serikat) sudah berpikir untuk mulai menggunakan UAV dalam perkembangan perang dingin antara blok timur dan barat. Ide ini kemudian bergulir dengan cepat saat Uni Soviet berhasil menembak jatuh pesawat mata-mata Amerika U-2 pada tahun 1960. Hanya hitungan hari setelah U-2 ditembak jatuh, Amerika memulai program sangat rahasia mengembangkan penggunaan UAV yang dikenal kemudian dengan nama sandi “Red Wagon”. Untuk pertama kali dengan tingkat kerahasiaan yang sangat tinggi, UAV digunakan dalam medan pertempuran di perang Vietnam. Pada tahun 1973 pihak militer Amerika Serikat secara resmi mengkonfirmasi bahwa Amerika Serikat memang telah menggunakan UAV pada perang Vietnam. Alasannya, saat itu lebih dari 5.000 pilot Amerika Serikat tewas dalam pertempuran dan lebih dari 1.000 orang lainnya hilang dalam tugas. Wing 110, pengintai strategis USAF, telah melakukan tidak kurang dari 3.435 misi menggunakan UAV dalam perang Vietnam dan sejumlah 554 UAV telah hilang lenyap karena berbagai sebab.

Sejak itulah maka penggunaan UAV meluas pada misi-misi berisiko tinggi yang harus dilaksanakan dalam medan pertempuran, peperangan, dan bahkan juga pada misi-misi perdamaian. Drone digunakan antara lain untuk target penembakan dan target pengelabuan. Di bidang intelijen drone digunakan untuk melaksanakan misi pengintaian. Di medan perang dan atau pertempuran drone digunakan untuk melaksanakan misi penembakan sasaran strategis berisiko tinggi. Sistem dukungan logistik tertentu juga telah mulai memanfaatkan drone.

Beberapa Model Pesawat Tanpa Awak

Di samping itu, drone juga sudah digunakan untuk tujuan penelitian dan pengembangan. Pada tugas-tugas sipil drone banyak sekali digunakan untuk pemotretan dan aerial photography, penyemprotan hama –agriculture dan proses pengumpulan data untuk tujuan tertentu. Pesawat terbang tanpa awak ini telah mampu menggantikan peran dari pesawat pengintai Amerika U-2.

Drone di Indonesia

Kegiatan Konfigurasi Drone untuk Pemotretan Udara

Di Indonesia drone telah berkembang cukup pesat. Sebelum Drone dikenal luas, sebenarnya kegiatan aeromodelling atau pesawat model tanpa awak sudah cukup banyak dilakukan. Mereka tergabung antara lain dalam wadah organisasi FASI (Federasi Aero Sport Indonesia) dan APDI (Asosiasi Pilot Drone Indonesia). Perkembangan drone selanjutnya dipelopori antara lain oleh LAPAN dan juga BPPT. Di samping itu pihak swasta dan beberapa lembaga penelitian dan pengembangan serta sejumlah perguruan tinggi juga telah melakukan mengembangkan drone. Tidak kurang dari delapan jenis drone telah dibuat di dalam negeri.

Pada umumnya drone memang digunakan untuk misi pengintaian, pemotretan udara, penelitian karakteristik atmosfer untuk meteorologi, pemantauan kabel listrik tegangan tinggi dan juga pengawasan daerah perbatasan serta untuk kepentingan komersial seperti iklan dan lain-lain. Beberapa drone juga digunakan di daerah perbatasan untuk kegiatan pemantauan. Bahkan Indonesia mempunyai pabrik drone pertama di Asia Tenggara. Di masa depan, semoga semua usaha pengembangan ini menjadi tolok ukur pembangunan sektor dirgantara Indonesia.


Sumber

https://nasional.kompas.com/read/2016/05/16/10555681/Drone.Lagi-lagi.Drone.

Aturan Menerbangkan Drone di Bandara

Aturan Menerbangkan Drone di Bandara

Bagi para penerbang drone, penting untuk dapat mengetahui aturan atau regulasi yang berlaku untuk menerbangkan drone. Baik itu hobby aeromodelling maupun untuk keperluan professional seperti survey foto udara. Di Indonesia, regulasi yang mengatur penerbangan drone terdapat dalam PERMEN No. 90 Tahun 2015. Salahsatu poinnya, mengatur soal larangan menerbangkan drone di dekat wilayah Bandar Udara/Airport karena berpotensi mengganggu penerbangan. Bukan saja mengganggu tapi jelas membahayakan, Bisa dibayangkan bila drone yang kita terbangkan di depan pesawat terbang lalu terhisap kedalam mesin jet lalu timbul ledakan? Terlebih karena pesawat dalam kondisi pendaratan (Final Approach) adalah salahsatu fase kritis yang dapat menimbulkan kecelakaan.

Tapi ternyata sebelum drone sepopuler sekarang, justru pegiat aeromodelling banyak menerbangkan pesawat-pesawatnya di wilayah Bandara. Kenapa?  Karena hanya di bandaralah tersedia runway/landasan untuk memacu pesawat Aeromodelling berjenis fixed wing. Apakah mengganggu penerbangan?  Tidak berbahaya selama pilot berkomunikasi dengan ATC/Tower. Seperti saat ada pesawat hendak take-off atau landing, tower akan menghubungi salah satu komandan lapangan agar semua drone mendarat terlebih dahulu beberapa saat dengan jeda waktu yang aman.

Sebut saja bandara Husein Sastranegara di Bandung, dulunya adalah markas para pegiat Aeromodelling dari berbagai club dibawah naungan FASI / Federasi Aero Sport Indonesia. Seluruh anggota club waktu itu diberi pass masuk yang ditunjukan kepada anggota TNI yang berjaga di pos depan, karena Bandara Husein Sastranegara adalah Pangkalan Militer. Bertahun-tahun para anggota club Aeromodelling berlatih menerbangkan wahananya disana sampai pada tahun 2012, seiring dengan meningkatnya traffic penerbangan ke Bandung, kegiatan aeromodelling sepenuhnya dipindahkan ke Pangkalan Udara Sulaiman.

baca juga : Perbedaan Drone dan UAV

Bandara Husein Sastranegara

Perizinan untuk pengoperasian drone di Bandara harus mendapat restu dari dua pihak yaitu Pemerintah Daerah Setempat (Dinas Perhubungan), juga pihak bandara & PT Airnav dibawah koordinasi Kementerian Perhubungan RI. Kalau sudah dapat izin dari pihak-pihak tersebut, selanjutnya kita tinggal berkoordinasi dengan pihak di Bandara.

Setelah perizinan dari pemda selesai, selanjutnya adalah berkoordinasi dengan Tower / ATC di bandara tersebut. Di bandara-bandara besar, Tower dibagi-bagi tugas. Ada yang mengontrol pergerakan pesawat di darat (Grond Control Tower), ada yang mengendalikan pesawat pada zona tertentu (approach, tower, dll). Tapi di Bandara-bandara kecil biasanya cuma ada beberapa orang saja, jadi jauh lebih sederhana.

Selain soal pengalaman, Pihak bandara biasanya menanyakan satu hal penting kepada pilot drone, bagaimana Flight Path yang akan dilakukan? Disini harus dijelaskan bahwa flight path yang dilakukan 100% aman bagi penerbangan. ATC masih punya wewenang menolak perizinan terbang seandainya pilot tidak bisa memberi jaminan keamanan.

Ilustrasi Situasi di Air Traffic Control

Berdasarkan Peraturan Menteri, disebutkan mengenai area-area yang dilarang untuk menerbangkan drone, yang meliputi:

  • Kawasan Udara Terlarang (prohibited area): kawasan udara yang tidak diijinkan sama sekali untuk lewati oleh pesawat udara apapun.
  • Kawasan Udara Terbatas (restricted area): kawasan udara yang digunakan untuk kepentingan negara saja, yang jika sudah tidak aktif bisa digunakan untuk sipil.
  • Kawasan Keselamatan Operasi Penerbangan (KKOP): wilayah sekitar bandar udara yang digunakan untuk kegiatan penerbangan.

Sementara dari jalur udara sendiri, drone juga tidak diijinkan terbang di:

  • Controlled Airspace: jalur udara yang digunakan untuk pelayanan penerbangan.
  • Uncontrolled Airspace di atas 150m. pada jalur udara yang tidak dijadikan pelayanan penerbangan pun, drone tidak diperkenankan terbang di atas 150m.

Berikut ini urutan tahap-tahap yang perlu dilakukan saat mengambil foto/video udara di airport dengan pergerakan pesawat aktif.

  1. Pastikan sudah mengantungi izin sesuai dengan peraturan yang berlaku di sebuah area. Koordinasikan perizinan dengan pemda Setempat serta otoritas Bandara. Di Indonesia perizinan terbang di Bandara harus sampai ke Pemprov / Pemkab dan Kementerian / Dinas Perhubungan, serta PT. Airnav.
  2. Saat tiba di bandara, segera lakukan koordinasi dengan otoritas bandara untuk meminta pendampingan sekuriti bandara selama operasional.
  3. Berkoordinasi dengan pihak Tower yang biasanya dikelola oleh PT. Airnav, untuk membicarakan jadwal take off dan landing, peta runway, apron dan taxiway, untuk menentukan posisi aman untuk operasional drone. Jangan lupa bawa 2 buah radio HT, 1 untuk tower, sementara satu lagi digunakan di posisi terbang.
  4. Saat standby di posisi operasional drone, laporlah kepada Tower, agar diberi informasi minimal beberapa saat sebelum pesawat taxi ke ujung landasan.
  5. Drone diterbangkan terlebih dahulu sebelum pesawat bergerak, untuk menjaga jarak aman antara drone dan pesawat terbang. Setelah posisi drone berada di posisi aman, laporlah kepada tower bahwa pesawat sudah aman untuk take off.
  6. Jangan gerakan drone anda selama pesawat belum take off. Ambil foto udara & Video udara di posisi yang aman.
  7. Setelah pesawat take off, baru daratkan kembali drone, lalu lapor ke tower bahwa drone sudah aman, yang artinya landasan sudah clear untuk pendaratan.

Sumber:

  • http://www.kaufikanril.com/2015/09/menerbangkan-drone-di-airport.html
  • https://www.plazakamera.com/regulasi-dan-aturan-menerbangkan-drone-di-indonesia/